Rabu, 21 Desember 2011

What Next?

Terima kasih atas segala perhatiannya.

Pembagian kualitas piutang menjadi empat, lima, atau berapapun, bukanlah tujuan utama penyusunan PMK penyisihan piutang tidak tertagih. Yang menjadi tujuan adalah pembenahan aset negara berupa piutang Kementerian Negara/Lembaga (K/L). Dengan adanya kewajiban menghitung penyisihan piutang, setiap satuan kerja didorong untuk menata catatan piutangnya sehingga tahapan penagihan dari awal sampai dengan piutang tersebut lunas atau justru masuk kategori macet dan diserahkan ke PUPN, dapat lebih terpantau. Diharapkan, kelak tidak ada proses penagihan yang terhenti bertahun-tahun dengan berbagai kondisi seperti kondisi yang ada saat ini, di antaranya:
- tidak jelas akan ditagih ke mana/siapa,
- tidak jelas jumlah yang akan ditagih,
- ditagih tapi dengan cara yang membuat tagihan tersebut tidak dapat ditagih,
- upaya debtor retention,
- tidak ditagih dengan alasan yang tertentu,
dan berkas penagihan dilihat apabila menjadi temuan pemeriksaan.


Pengukuran nilai penyisihan piutang tidak tertagih yang lebih mudah, kalaupun diperlukan oleh entitas pelaporan untuk menyajikan piutang dalam nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value), adalah dengan menggunakan single percentage atau persentase tunggal yang dihitung berdasarkan:
- saldo piutang per tanggal neraca, atau
- nilai penjualan/pemberian produk (barang maupun jasa) yang pembayarannya tidak dilakukan secara tunai.
Hal ini berbeda dengan PMK 201 yang menyediakan beberapa persentase, yaitu 0,5%, 10%, 50%, dan 100%.


Penggunaan persentase tunggal atau berapa pun banyaknya persentase yang diatur dalam kebijakan akuntansi penyisihan piutang, dibangun dengan cara yang sama, yaitu dengan berdasarkan data historis piutang beberapa tahun. Dari penelitian awal terkait rencana rumus penghitungan penyisihan piutang yang akan digunakan untuk menghitung persentase penyisihan piutang kelak, diperoleh hasil yang beragam, baik ekonometrika atau pun rumus yang berbasis statistika. Sebagai contoh, terjemahan berikut sempat menjadi salah satu sumber.


Sambil menunggu data piutang beberapa tahun tersebut terkumpul dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, tentunya cara-cara lama yang kurang konstruktif atau kurang efektif, layak mengalami perbaikan. Bukan agar kebijakan akuntansi penyisihan piutang kelak lebih mudah dibuat, tetapi justru diharapkan tidak perlu dibuat; bukan dilatarbelakangi oleh keengganan, tetapi karena hasil penagihan piutang terealisasi seluruhnya.


Salam,


@ PN & KNL

Jumat, 14 Oktober 2011

Pemilihan Penggolongan Kualitas Piutang: Best Practice

Kualitas aktiva dalam praktik penyisihan aktiva berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, yang umum didengar adalah pembagian kualitas aktiva menjadi 5 (lima) golongan, yaitu:
1. Lancar
2. Dalam Perhatian Khusus
3. Kurang Lancar
4. Diragukan
5. Macet

Saat penyusunan PMK No. 201/PMK.06/2010, kami sempat akan menggunakan "paket" yang terdiri dari 5 (lima) golongan ini. Sebelum memutuskan, maka dilakukan pencarian di manakah tepatnya penggolongan kualitas aktiva tersebut diatur untuk mengantisipasi pertanyaan dari berbagai pihak berkenaan dengan sumber yang kami gunakan dalam penyusunan PMK.

Usut-punya-usut, diperoleh Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang mengatur penggolongan kualitas aktiva menjadi 5 (lima) tersebut, tepatnya pada Pasal 12 ayat (3). Namun dalam PBI tersebut ada beberapa paket kualitas aktiva yang beragam, tidak hanya yang 5 (lima) golongan itu saja, misalnya:

  • Pasal 14
Kualitas Surat Berharga ditetapkan sebagai berikut: Lancar, Kurang Lancar, dan Macet (berarti ada 3 (tiga) golongan)
  • Pasal 24
Kualitas Penempatan ditetapkan sebagai berikut: Lancar, Kurang Lancar, dan Macet (berarti ada 3 (tiga) golongan)
  • Pasal 28
Kualitas Penyertaan Modal ditetapkan sebagai berikut: Lancar, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet (berarti ada 4 (empat) golongan)
  • Pasal 30
Kualitas Penyertaan Modal Sementara ditetapkan sebagai berikut: Lancar, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet (berarti ada 4 (empat) golongan)
  • Pasal 39
Kualitas Agunan yang Diambil Alih (AYDA) ditetapkan sebagai berikut: Lancar, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet (berarti ada 4 (empat) golongan)
  • Pasal 42
Kualitas Properti Terbengkalai ditetapkan sebagai berikut: Lancar, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet (berarti ada 4 (empat) golongan)
  • Pasal 43
Kualitas Rekening Antar Kantor dan Suspense Account ditetapkan sebagai berikut: Lancar dan Macet (berarti ada 2 (dua) golongan).
  • Pasal 45
Ketentuan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) membedakan PPA terhadap Aktiva Produktif dan PPA terhadap Aktiva Non Produktif. Terdapat pengaturan cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif dan cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif. Cadangan umum mengatur tentang PPA kualitas Lancar, cadangan khusus mengatur tentang PPA kualitas Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
Dengan demikian, kualitas aktiva dalam PPA terhadap Aktiva Produktif ada 5 (lima) golongan, yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet; sedangkan kualitas aktiva dalam PPA terhadap Aktiva Non Produktif ada 4 (empat) golongan, yaitu Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembagian kualitas aktiva yang paling sering digunakan dalam PBI tersebut adalah pembagian menjadi 4 (empat) golongan.

Apakah berhenti sampai si situ?


Tentu tidak, kami menggunakan cara yang sama atas seluruh peraturan penyisihan aktiva yang lain. Hasilnya sama dengan hasil penelaahan kami atas PBI di atas, yaitu pembagian kualitas menjadi 4 (empat) golongan merupakan pembagian yang paling sering digunakan dalam seluruh peraturan penyisihan aktiva (kami mengabaikan kemiripan jenis aktiva yang digolongkan dengan piutang Kementerian Negara/Lembaga yang jelas sulit dibandingkan).

Berdasarkan hasil penelaahan tersebut, pembagian kualitas aktiva menjadi 5 (lima) golongan, yaitu:
1. Lancar
2. Dalam Perhatian Khusus
3. Kurang Lancar
4. Diragukan
5. Macet
yang semula akan digunakan dalam PMK diganti menjadi kualitas aktiva dengan 4 (empat) golongan, yaitu:
1. Lancar
2. Kurang Lancar
3. Diragukan
4. Macet
sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1)  PMK No. 201/PMK.06/2010.

Ketika kami menguraikan langkah pencarian dimaksud dalam rapat pembahasan rancangan Peraturan Dirjen Perbendaharaan (Perdirjen) yang menjadi Perdirjen No. PER-12/PB/2011 tentang Petunjuk Teknis Penentuan Kualitas dan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih Penerusan Pinjaman (ditetapkan pada tanggal 22 Februari 2011), peserta rapat menyampaikan komentar bahwa pemilihan pembagian yang paling sering digunakan tersebut dikenal dengan: BEST PRACTICE
Sesuatu yang baru kami sadari.

Secara letterlijk (atau harfiah) berarti praktik terbaik.
Istilah lain yang sering digunakan adalah praktik yang sehat atau sound practice. Pernah ditemukan bahwa best practice berarti praktik yang sehat; entah keliru menerjemahkan, karya klasik atau karena praktik akuntansi di Indonesia meng-adapt, bukan meng-adopt?

Apapun, semoga dapat menjadi motivasi untuk senantiasa meningkatkan kualitas.


Salam,


@ PN & KNL

Selasa, 20 September 2011

Ekstraksi Ketentuan Bank Indonesia tentang Penyisihan Aktiva: Tahun 1993-2007

Rekomendasi instansi pengawas keuangan negara agar pemerintah pusat menyusun kebijakan pencadangan piutang, yang kemudian diamanatkan kepada kami untuk menyusunnya, mulanya menjadi tanda tanya besar, bagaimana cara membangun persentase penyisihan piutang jika data piutang yang ada hanyalah data piutang macet yang sudah diserahkan penagihannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang atau kepada kantor pelayanan kami. Data tersebut tidak mungkin dapat digunakan untuk menghitung persentase penyisihan piutang Kementerian Negara/Lembaga (K/L) yang tidak tertagih. Jangankan untuk kepentingan penentuan persentase berjenjang sesuai tingkat ketertagihannya (yang kemudian diistilahkan dengan "kualitas piutang" dalam PMK Nomor 201/PMK.06/2010), untuk memperoleh single percentage pun data tersebut masih jauh dari persyaratan kecukupan data.

Dengan kondisi data yang demikian, sempat terlontar agar penyusunan kebijakan pencadangan piutang ditunda hingga beberapa tahun ke depan, menunggu terkumpulnya data piutang  K/L yang diperoleh dari pelaksanaan inventarisasi piutang K/L sesuai amanat Pasal 1111 huruf f Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan (yang sudah diganti oleh PMK Nomor 184/PMK.01/2010). Namun dorongan untuk tetap bersegera menyusun kebijakan pencadangan piutang diperoleh berkesinambungan. Apa daya? Baiklah diupayakan biar nggak salah-salah amat. Yang penting diupayakan.


Setelah "tabrak sana-sini" dalam rangka mencari jalan untuk memperoleh persentase penyisihan piutang, akhirnya diputuskan untuk lebih memfokuskan penelahaan pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur penyisihan aktiva produktif, baik yang berbentuk peraturan, surat edaran, maupun surat keputusan. Berdasarkan hasil pencarian di internet, ketentuan terkait terbit sejak tahun 1993 sampai tahun 2007. Adapun ekstraksi persentase penyisihan aktiva dalam berbagai ketentuan tersebut adalah sebagai berikut.


I.        Pasal 4 Surat Keputusan Direksi BI Nomor: 26/22/KEP/DIR Tanggal 29 Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif   
Besarnya penyisihan yang harus dibentuk sekurang-kurangnya sebesar:
a.       0,5% dari aktiva produktif yang digolongkan lancar;
b.      3% dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai;
c.       50% dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan yang dikuasai; dan
d.      100% dari aktiva produktif yang digolongkan macet yang masih tercatat dalam pembukuan bank setelah dikurangi nilai agunan yang dikuasai.

II.      Lampiran hal. 61 Surat Edaran BI Nomor: 26/4/BPPP Tanggal 29 Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif   
Besarnya pembentukan penyisihan sekurang-kurangnya:
a.       0,5% dari aktiva produktif yang digolongkan lancar;
b.      3% dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai;
c.       50% dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan yang dikuasai; dan
d.      100% dari aktiva produktif yang digolongkan macet yang masih tercatat dalam pembukuan bank setelah dikurangi nilai agunan yang dikuasai.
Penggolongan Kolektibilitas Penyertaan:
Besarnya penyisihan yang harus dibentuk sekurang-kurangnya sebesar:
a.       Lancar: penyertaan pada perusahaan yang dalam tahun buku terakhir Return on Assets sebelum pajak minimal 0,5% dan secara kumulatif perusahaan tidak rugi.
b.      Kurang Lancar: penyertaan pada perusahaan yang dalam tahun buku terakhir Return on Assets sebelum pajak kurang dari 0,5% dan secara kumulatif perusahaan tidak rugi.
c.       Diragukan: penyertaan pada perusahaan yang menderita kerugian secara kumulatif sampai dengan 50% dari modal disetor perusahaan yang bersangkutan.
d.      Macet: penyertaan pada perusahaan yang menderita kerugian secara kumulatif lebih dari 50% modal disetor perusahaan yang bersangkutan.

III.    Pasal 2 Peraturan BI Nomor: 5/9/PBI/2003 Tanggal 19 Mei 2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Syariah  
1.         Cadangan Umum: sekurang-kurangnya 1% dari seluruh Aktiva Produktif yang digolongkan lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah BI dan Surat Utang Pemerintah.
2.         Cadangan Khusus ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar:
a.       5% (lima perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan dalam perhatian khusus; dan
b.      15% (lima belas perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan; dan
c.       50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan
d.      100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan macet setelah dikurangi nilai agunan.
3.         Cadangan khusus penyisihan penghapusan aktiva produktif untuk Piutang Ijarah yang digolongkan dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 50% dari masing-masing kewajiban pembentukan penyisihan penghapusan sebagaimana dimaksud dalam angka 2.
 
IV.    Pasal 45 Peraturan BI Nomor: 7/2/PBI/2005 Tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum       
1.         Cadangan Umum: ditetapkan paling kurang sebesar 1% (satu perseratus) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar.
2.         Cadangan Khusus ditetapkan paling kurang sebesar:
a.       5% (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan;
b.      15% (lima belas perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan;
c.       50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Diragukan setelah dikurangi nilai agunan;
d.      100% (seratus perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Macet setelah dikurangi nilai agunan.

 V.      Surat Edaran BI Nomor: 7/3/DPNP Tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
(not applicable)

VI.    Peraturan BI Nomor: 8/2/PBI/2006 Tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas Peraturan BI Nomor: 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
(not applicable)

VII.  Pasal 12 Peraturan BI Nomor: 8/19/PBI/2006 Tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat            
1.         PPAP Umum: paling kurang sebesar 0,5% (lima permil) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar, tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia.
2.         PPAP Khusus ditetapkan paling kurang sebesar:
a.       10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
b.      50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
c.       100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.


VIII.            Peraturan BI Nomor: 9/6/PBI/2007 Tanggal 30 Maret 2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BI Nomor: 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
(not applicable)


Naaahhh...




Salam,


@ PN & KNL

Selasa, 30 Agustus 2011

@ PN & KNL

Menyambung tulisan Perubahan Organisasi Piutang Negara, sekaligus mewujudkan satu langkah yang disebutkan dalam tulisan tersebut, blog yang semula bernama Klinik Piutang Negara ini, diubah menjadi @ PN & KNL (baca: at Pe-eN dan Ka-eN-eL, yang berarti: pada Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain) plus tambahan kalimat "Tulisan seputar Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain". Yah, secara, nama Direktoratnya 'kan sudah berganti dari Direktorat Piutang Negara menjadi Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain sehingga diperlukan penyesuaian supaya tugas dan fungsi kekayaan negara lain-lain juga dapat dituliskan dan dibahas dalam blog ini.


Sebagaimana namanya "Kekayaan Negara Lain-lain", yaa...isinya campur-campur, tidak sespesifik Piutang Negara yang menangani beragam permasalahan terkait piutang negara, yang apa pun permasalahannya, jenis asetnya tetap piutang. Dalam fungsi kekayaan negara lain-lain, ditemukan penanganan ragam permasalahan berbagai jenis aset, dari yang berbentuk kas, piutang, surat berharga, serta aset tetap yang belum dapat dikelompokkan dengan aset sejenisnya.


Jika dianalogikan dengan neraca Pemerintah sebagai berikut:




aset negara yang ditangani fungsi kekayaan negara lain-lain sebagian besar disajikan pada akun Aset Lainnya. Untuk detilnya, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2010 sudah dapat diunduh dan dari LKPP tersebut kita dapat mengetahui aset atau harta apa saja yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan berapa nilainya.

"Sebagian besar disajikan pada akun Aset Lainnya"? Ya.
Ini juga berarti, ada kekayaan negara lain-lain yang disajikan pada akun yang lain. Sebagai contoh, Piutang pada Bank Dalam Likuidasi sudah disajikan pada kelompok akun Piutang.

Tetapi, bukankah tadi disebutkan bahwa dalam kekayaan negara lain-lain "...belum dapat dikelompokkan dengan aset sejenisnya"? Lalu mengapa Piutang pada Bank Dalam Likuidasi sudah dapat dikelompokkan dengan sejenisnya?

Tidak tahu bagaimana mulanya, hingga saat ini masih belum diketahui latar belakang penyajian tersebut. Diskursus mengenai hal ini dibicarakan sekali-sekali mengingat penguasaan tentang akuntansi pemerintah demikian langka di unit kami. Yang menjadi fokus adalah, upaya penanganan terbaik atas aset tersebut mengingat meskipun namanya Bank Dalam Likuidasi sehingga seluruh asetnya menjadi milik negara, tetapi belum 100% dikuasai oleh negara, serupa dengan aset yang ditangani oleh fungsi kekayaan negara lain-lain.


Selain Piutang pada Bank Dalam Likuidasi, jenis aset yang ditangani fungsi kekayaan negara lain-lain di antaranya adalah:
- aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama;
- aset bekas milik asing/Cina;
- barang tegahan Ditjen Bea dan Cukai;     
- barang muatan kapal tenggelam;
- barang rampasan; 
- aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional; dan
- aset eks kelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset.


Hmmm...itu jenis aset apa yaa?

Sedikit bocoran, misalkan aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) merupakan aset Pemerintah Pusat yang dikuasai oleh perusahaan KKKS, seperti perusahaan minyak bumi Conoco Phillips. Aset yang berbentuk seperti apa sih, milik negara tetapi dikuasai perusahaan minyak bumi itu? Mengapa bisa jadi begitu? Ada berapa banyak dan berapa nilainya? ....dan sederet pertanyaan lainnya tidak mungkin dijabarkan dalam satu tulisan ini.


Kalau pada tulisan Mengapa Blog Ini Dibangun disebutkan bahwa "...kita coba minta yang ahlinya ikut menulis", maka kali ini diubah menjadi: siapa saja yang tahu, mau menulis, dan tidak keberatan dipublikasikan.
Perubahan ini terjadi setelah menelaah buku Menuju Budaya Menulis: Suatu Bunga Rampai yang dieditori oleh Pangesti Wiedarti, Ph.D. yang berisi tulisan di antaranya sebagai berikut.

Wagiran dalam tulisan yang berjudul Implementasi Life Skills dalam Pembelajaran Menulis menyatakan bahwa menulis sebagai salah satu kemampuan yang diajarkan merupakan kegiatan yang sulit bagi banyak orang. 
Siti Maslakhah dalam tulisan yang berjudul Menulis Tidak Semudah Membaca menyebutkan bahwa keterampilan menulis sebagai salah satu dari empat keterampilan berbahasa mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Meskipun pembelajaran menulis ini sudah diberikan sejak SMP, ternyata masih banyak yang mengeluhkan betapa sulitnya menulis atau mengarang. Kesulitan menulis di antaranya bersumber dari kepribadian, di antaranya malas untuk memulai menulis, takut atau khawatir hasil tulisannya tidak bagus, dan tidak mempunyai kepercayaan diri bahwa dia mampu membuat tulisan bagus. 
Aprinus Salam dalam tulisan yang berjudul Praktik dan Problem Menulis di Indonesia menguraikan tentang kuatnya budaya lisan dalam masyarakat Indonesia. Sejauh yang dapat diamati, kebudayaan tulis-menulis di Indonesia masih didominasi oleh praktik budaya lisan. Hal ini berkaitan dengan proses sejarah kebudayaan bangsa Indonesia itu sendiri, dan dalam banyak hal didukung atau bahkan berimplikasi dalam praktik-praktik lain seperti praktik dalam bidang ekonomi,..., atau secara umum bagaimana masyarakat mengatasi persoalan hidupnya.
(Mungkin tulisan belakangan inilah yang dapat menjadi jawaban mengapa chatting dan social networking lebih dipihaki banyak orang meskipun terkadang menimbulkan ketidaktenteraman dari hasil update berita terkini itu.)


Kembali ke tema utama, yaitu Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain...disimpulkan bahwa:

  • Fungsi Piutang Negara menangani beragam permasalahan di bidang Piutang Negara;
  • Fungsi Kekayaan Negara Lain-lain menangani beragam permasalahan di beragam jenis aset yang belum dapat dikelompokkan ke jenis aset yang bersesuaian.


Sejak awal pembangunan blog, diniatkan agar setidaknya satu kali dalam sebulan ada tulisan yang bisa di-upload. Maka, di ujung bulan Agustus 2011 tetap diupayakan dapat meng-upload satu tulisan sambil mencicipi ketupat yang seharusnya dimakan besok, di hari Lebaran. Then, izinkan kami mengucapkan:

Ja'alanaLlaahu wa iyyaakum Minal 'Aaidiin wal Faaiziien

  Just stay tune!



Salam,


@ PN & KNL

Kamis, 21 Juli 2011

Perubahan Organisasi Piutang Negara


Ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (PMK 184) mengatur bahwa fungsi Piutang Negara yang semula berada dalam satu direktorat, digabungkan dengan fungsi kekayaan negara lain-lain. Fungsi kekayaan negara lain-lain itu sendiri semula juga merupakan direktorat yang berdiri sendiri sebagaimana bagan organisasi berikut.


Fusi kedua fungsi tersebut (fungsi piutang negara dan fungsi kekayaan negara lain-lain) adalah Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1091-1110 PMK 184 (tidak hanya fungsi tersebut yang mengalami perubahan, fungsi yang lain juga mengalaminya, namun mengingat blog ini terkait dengan piutang negara, maka yang disebutkan hanya yang terkait dengan piutang negara) sehingga secara keseluruhan perubahan nomenklatur (nama unit) di unit eselon I DJKN menjadi sebagai berikut.

Konsekuensi implementasi PMK 184 adalah: mutasi pejabat/pegawai di Kantor Pusat DJKN, unit eselon I yang terdiri dari beberapa direktorat, dulu di antaranya Direktorat Piutang Negara, tempat kami bekerja. Ada pejabat/pegawai yang masih tetap bekerja di fungsi piutang negara, ada pejabat/pegawai yang berpindah ke fungsi yang lain di DJKN. Perubahan ini, sedikit-banyak menimbulkan dampak terhadap blog dan pengelolaan blog.


Why?


Karena, masing-masing kami perlu penyesuaian di suasana yang baru serta tugas yang (mungkin) baru.
Karena, nama blog ini: Klinik Piutang Negara, belum mencerminkan fungsi yang hadir bersama fungsi piutang negara dalam Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Lain-lain.
Karena, tema Penyisihan Piutang Tidak Tertagih merupakan tema kecil yang kecilnya hanya "sekuku hitam"  sehingga sepertinya tidak membutuhkan pembahasan terus-menerus.



Sekedar informasi, jika pembaca sampai ke blog ini melalui link Klinik Piutang Negara di situs suatu kantor, hal tersebut semata-mata kebijakan dari unit yang bersangkutan. Melalui blog ini, kami berterima kasih atas apresiasi tersebut. Terus terang, sempat timbul kekhawatiran karena blog ini ditulis dengan bahasa yang tidak sepenuhnya formal atau bukan bahasa "ngantor". Selain itu, ada juga pembaca yang memberikan perhatian namun dampaknya hampir saja meniadakan produktivitas menulis (pake acara curhat nii..).


Niatan awal pembangunan blog ini (lihat tulisan Mengapa Blog Ini Dibangun) hanyalah untuk mendokumentasi perjalanan penyusunan PMK mengenai Penyisihan Piutang Tidak Tertagih, siapa tahu ada yang butuh, siapa tahu ada yang ingin tahu mengenai behind the scene (proses yang terjadi di saat penyusunan) sedangkan pada waktu itu orang-orangnya sudah tidak bisa ditanya lagi baik karena mutasi atau karena hal lain, mengisi waktu dengan kegiatan yang (kayaknya) bermanfaat, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Syukur kalau ada yang tertarik dengan tema yang di-upload. Sungkan sekali rasanya jika ada permintaan untuk menyebarkan alamat blog ini.


Saat ini, kami sedang mempertimbangkan dua alternatif, yaitu apakah blog ini akan dilanjutkan dengan menambah tulisan terkait fungsi kekayaan negara lain-lain atau mengganti alamat www.klinik-piutangnegara.blogspot.com karena rasanya tidak fair kalau tidak menyesuaikan alamat tersebut dengan perubahan organisasi. Sempat juga terpikir untuk beralih menulis ke tulisan yang lebih baku, kalau perlu setingkat tulisan ilmiah untuk mengasah kemampuan lain. Whatever...kami juga tidak ingin kebanyakan wacana, nanti jadinya malah tidak melakukan apapun. Juga tidak ingin kebanyakan pertimbangan, jadinya takut melakukan apapun. Katanya, lebih baik salah daripada tidak melakukan apapun (tepat nggak sih penggunaan kalimat tersebut?).

Yang pasti, masih banyak yang ingin ditulis dan masih ada beberapa tulisan hasil penelaahan sepanjang penyusunan PMK Nomor 201/PMK.06/2010 yang ingin di-upload. Selain itu, kami juga mempertimbangkan kontribusi penulis baru dengan style yang berbeda sebagai variasi dan agar dapat melayani "konsumen" yang lebih luas. Sambil mempertimbangkan, izinkan kami menarik nafas, jeda sejenak, beristirahat, dan menyambut datangnya bulan Ramadhan. Selamat berpuasa! :)



Salam,


Tim Klinik

Kamis, 30 Juni 2011

Dream....Come True, will you?

Pembahasan mengenai penyisihan piutang tidak tertagih yang muaranya lebih kepada penghapusan piutang, bukanlah sesuatu yang disukai dalam rangkaian pengelolaan aset.


Why?
Adanya akun penyisihan piutang tidak tertagih dalam neraca bermakna bahwa:
  1. ada bagian dari piutang yang tidak dapat dikonversi menjadi kas atau ketertagihannya tidak bisa mencapai 100%; dan
  2. kejadian ketidaktertagihan ini demikian signifikan dan berulang bertahun-tahun sehingga perlu dilakukan kebijakan akuntansi berupa penyisihan piutang tidak tertagih. 
Harapan adanya perbaikan dalam pengelolaan piutang sehingga kelak, akun penyisihan piutang tidak tertagih tidak diperlukan lagi, tidak perlu pergi ke instansi yang melakukan pengurusan piutang negara untuk menyerahkan piutang macetnya, dan selanjutnya tidak perlu ada pengganti PMK Nomor 201/PMK.06/2010 karena ketertagihan piutang kementerian negara/lembaga mendekati atau sama dengan 100%.


Masalahnya:
siapkah?
bagaimana mencapainya?


Terkait pertanyaan "siapkah?", aneka resistensi dapat ditemukan. Belum lagi, kekhawatiran pegawai yang akan (merasa) kehilangan pekerjaan dari yang biasa dilakukannya, dapat menjadi hal berat yang seharusnya dapat disikapi dengan menyenangkan, yaitu: tanda keberhasilan pengelolaan piutang. Bukankah seharusnya hal ini menimbulkan optimisme bahwa jika ada akun yang pengelolaannya semula bisa di atas 20 tahun menjadi tidak lebih dari 12 bulan berarti para pegawai tersebut telah berhasil mengelola satu jenis aset dan ada kemungkinan berhasil di jenis aset yang lain? Pekerjaan yang lebih baik menjadi gantinya.

Terkait pertanyaan "bagaimana mencapainya?", diperlukan beberapa diskusi plus kerja sama yang dibarengi semangat sama-sama bekerja untuk memperoleh cara-cara pengelolaan terbaik.


Semoga bukan hanya mimpi. 


Salam,


Tim Klinik

Jumat, 27 Mei 2011

Penilaian dalam Penyisihan Piutang

Izinkan kami sedikit kilas balik.


Riset awal tentang Penyisihan Piutang Tidak Tertagih, dimulai sekitar bulan Oktober 2009 sebagai tindak lanjut temuan auditor yang menyampaikan rekomendasi untuk menyusun aturan kebijakan pencadangan piutang. Waktu itu, Direktorat Penilaian (dahulu: Direktorat Penilaian Kekayaan Negara/Dit. PKN) juga sempat melakukan riset tentang Penyisihan Piutang Tidak Tertagih karena beberapa rekomendasi auditor menyebabkan unit ini diminta membantu unit-in-charge sesuai bidang tugas dan fungsi masing-masing. Pada tanggal 10 Desember 2009, unit ini menyelenggarakan rapat dengan para unit-in-charge, termasuk piutang negara, dan dari rapat tersebut, rancangan PMK mengenai kebijakan pencadangan piutang tidak tertagih, mulai disusun.

Pada saat itu, Dit. PKN mengusulkan agar dalam penerapan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih (saat itu digunakan istilah aging schedule), ketidaktertagihan piutang negara tidak hanya berdasarkan umur dari piutang negara, tetapi dari beberapa hal, yaitu:

Kondisi barang jaminan mencakup kepada keberadaan barang jaminan dan dokumen kepemilikan barang jaminan.
Mmmhh....Sejalan dengan riset kami.


Dalam pembahasan penyusunan PMK, mengemuka pertanyaan, berapa banyak lagi uang yang akan terkuras dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hanya untuk membiayai penilaian agunan atau barang sitaan yang terkait dengan piutang? Belum lagi wanti-wanti, "pertimbangkan administrative cost", jangan sampai penyelenggaraan penyisihan piutang tidak tertagih menambah beban administrasi.


Don't worry....

Kalau surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, tabungan, dan deposito sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) huruf a, nilai yang digunakan adalah angka yang tertera dalam instrumen keuangan tersebut.

Kalau agunan atau barang sitaan diikat dengan hak tanggungan, hipotik, atau fidusia sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b, e, dan f, nilai yang digunakan adalah nilai yang tercantum dalam dokumen pengikatan hak tanggungan, hipotik, atau fidusia. (Baca juga tulisan Hak Tanggungan, Hipotik, dan Fidusia)

Kalau tanah atau bangunan tersebut tidak ada pengikatannya?
Gunakan Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf c dan d serta Pasal 8 ayat (1) huruf b dan c.

Berarti yang memerlukan penilaian adalah agunan atau barang sitaan berupa:
  • kendaraan;
  • pesawat udara; atau
  • kapal laut;
sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf g serta Pasal 8 ayat (1) huruf d. Untuk itu, ditambahkan ketentuan mengenai kewenangan penilaian kembali di dalam Pasal 10.


Dengan demikian, PMK Nomor 201/PMK.06/2010 meliputi:


















Di akhir waktu pembahasan rancangan PMK, ada pendapat yang menyatakan agar nilai kendaraan, pesawat udara, dan kapal laut menggunakan data instansi yang berwenang, misalnya nilai kendaraan yang dikeluarkan oleh Kepolisian, untuk meringankan upaya penilaian. Maka, disusunlah ketentuan, "Nilai agunan atau barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g dan Pasal 8 ayat (1) huruf d bersumber dari nilai yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang." dalam Pasal 9 PMK.

Jadi ringan, 'kan?


Tinggal satu masalah lagi.
Nilai mana yang digunakan untuk agunan atau barang sitaan berupa emas dan logam mulia?
Salam,


Tim Klinik

Selasa, 03 Mei 2011

Penyisihan Piutang untuk Penghapusan Piutang


Penyisihan piutang tidak tertagih diselenggarakan untuk mengantisipasi risiko ketidaktertagihan piutang. Artinya, piutang yang berdasarkan data historisnya tertagih, tidak perlu dibuat penghitungan penyisihan piutang tidak tertagih. Ya untuk apa? Toh biasanya tertagih...
Lalu bagaimana dengan piutang yang memerlukan akun penyisihan piutang tidak tertagih yang berarti, ada risiko ketidaktertagihan pada jenis piutang tersebut? Mau diapakan bagian yang tidak tertagih itu? Tentunya, dilakukan penghapusan piutang.

Dalam Pasal 14 PMK Nomor 201/PMK.06/2010 ini, disebut-sebut juga tentang penghapusan piutang, yaitu bahwa, "(1) Penghapusan Piutang oleh Kementerian Negara/Lembaga dilakukan terhadap seluruh sisa Piutang per Debitor yang memiliki kualitas macet. (2) Penghapusan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan."

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.    Hanya piutang yang sudah sampai pada kualitas macet saja yang dapat diajukan penghapusan.
2.    PMK Nomor 201/PMK.06/2010 tidak mengatur tentang tatacara penghapusan piutang karena penghapusan piutang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; yang diatur adalah pencatatan setelah adanya penghapusan, yaitu dengan cara:
a.  mengurangi akun Piutang
b.  mengurangi akun Penyisihan Piutang Tidak Tertagih
 sebesar jumlah piutang yang dihapuskan dalam surat keputusan penghapusan.

Untuk penghapusan piutang perpajakan yang dikelola oleh Ditjen Pajak, sudah ada aturan sendiri, yaitu KMK Nomor 539/KMK.03/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan.

Ada juga mekanisme penghapusan piutang a la Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang  Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah yang mencakup:
1.   Piutang negara yang telah diurus secara optimal oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Ditjen Kekayaan Negara (PUPN/DJKN) dan telah diterbitkan surat PSBDT (Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih). Jenis piutang negara yang dapat diserahkan pengurusannya ke PUPN/DJKN ini meliputi seluruh jenis piutang PNBP dan piutang ganti kerugian negara.
2. Piutang negara yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri/rekening dana investasi/rekening pembangunan daerah. Hingga saat ini belum ada kesepakatan final mengenai apakah piutang negara jenis ini dapat diurus oleh PUPN/DJKN.

Jika ada pertanyaan, apakah ketentuan penghapusan piutang yang ada sudah mencakup semua jenis piutang?
Jawabannya: belum.


Dikaitkan dengan Pasal 4 PMK yang mengklasifikasikan piutang menjadi 3, yaitu:
1.    Piutang penerimaan negara bukan pajak.
2.    Piutang pajak yang meliputi piutang di bidang:
a.    perpajakan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak.
b.    kepabeanan dan cukai yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
3.    Piutang lainnya.
maka, piutang yang diketahui sudah mempunyai ketentuan penghapusan piutang adalah sebagai berikut.

1.    Piutang penerimaan negara bukan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005.
2.    a. Piutang di bidang perpajakan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan KMK Nomor 539/KMK.03/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan.
2.    b. Piutang kepabeanan dan cukai, sebagian diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005, yaitu piutang Bea Keluar dan piutang cukai dalam negeri (demikian disebut untuk membedakan piutang cukai dalam rangka impor).
3.    Piutang lainnya, sebagian diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005, yaitu piutang ganti kerugian negara dan piutang negara yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri/rekening dana investasi/rekening pembangunan daerah.


Pasal 41 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 berbunyi, "Pelaksanaan penagihan utang dan penghapusan penagihan utang yang tidak dapat ditagih berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku."


Dalam penerapannya, piutang kepabeanan memiliki "dua kaki", satu kaki di perpajakan dengan mengacu ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang berbunyi, "Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut undang-undang dan peraturan daerah.", satu kaki ada di Bea Keluar yang dalam ketentuan mengenai Bea Keluar dimungkinkan dilakukan penghapusan piutang dengan mekanisme penghapusan piutang a la Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005.

Permasalahannya adalah, piutang Bea Masuk berbeda dengan piutang pajak yang penghapusannya menggunakan KMK Nomor 539/KMK.03/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan sebagaimana disebutkan di atas sehingga seperti ada ketidaksinkronan jika menggunakan peraturan perpajakan dalam mengatur penghapusan piutang Bea Masuk. Pernah ada usulan agar ketentuan penghapusan piutang Bea Masuk diatur dalam perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005, namun hingga saat ini konsep tersebut belum mengerucut dan tidak tahu kapan dan bagaimana kesepakatan tersebut bisa terjalin.


Then, piutang Bea Masuk, quo vadis?


Ah, tidak perlu bingung...


Kembali ke paragraf pertama tulisan ini, piutang yang berdasarkan data historisnya tertagih, tidak perlu dibuat penghitungan penyisihan piutang tidak tertagih sehingga tentunya tidak perlu dilakukan penghapusan. Sambil menunggu atau mungkin daripada menunggu godot, bagaimana jika ditingkatkan saja ketertagihannya hingga 100% sehingga ketiadaan ketentuan peraturan penghapusannya tidak lagi menjadi problem? Mudah-mudahan dapat menjadi wacana yang cukup konstruktif.


Salam,


Tim Klinik