Selasa, 19 April 2011

Hasil Korespondensi: "kualitas lancar, dst..."

Musim audit laporan keuangan di berbagai satuan kerja dan Kementerian Negara/Lembaga mengingatkan pada saat setahun yang lalu ketika ada arahan agar aktivitas terkait rancangan PMK ditunda sampai seminar akuntansi berbasis akrual yang diselenggarakan awal bulan Mei 2010 selesai diikuti. Selain itu, ada beberapa ketentuan yang belum memperoleh kesepakatan dari wakil-wakil unit yang diundang.  

Iseng-iseng jari di atas tuts papan kunci alias keyboard komputer, diperoleh auditor yang rela berdiskusi tentang penyisihan piutang tidak tertagih. Bukan apa-apa, pengalaman kami terkait akuntansi pemerintah terbatas pada yang kami dengar dan kami baca saja, tidak pernah tahu bagaimana praktiknya. Kebetulan beliau pernah menulis beberapa artikel tentang penyisihan piutang tidak tertagih di beberapa tahun sebelumnya. Jadilah, kami berkorespondensi dengan beliau selama bulan April 2010, beberapa kali.


Berikut ini merupakan korespondensi mengenai hal yang menyebabkan perubahan bunyi ketentuan Pasal 3 ayat (1) mengenai "kualitas piutang". Ditulis ulang dengan penyesuaian minimal, misalnya pada penyebutan unit dan pemanjangan singkatan.


Topik:
Pasal 5 ayat (1) mengenai kualitas Piutang PNBP mengatur jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan.
Disarankan untuk ditinjau kembali mengingat sesuai dengan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan, paragraf 62 dan 63, suatu aset diklasifikasikan sebagai aset lancar (dalam hal ini piutang), jika diharapkan segera untuk dapat direalisasikan atau dimiliki untuk dipakai atau dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pelaporan.
Selain itu, disarankan menggunakan pendekatan jangka waktu penyelesaian sebagai dasar penggolongan piutang dengan jangka waktu 1 (satu) tahun.

Pembahasan:
Istilah "lancar" dalam ketentuan tersebut tidak sama artinya dengan istilah "lancar" dalam Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang berarti diharapkan segera untuk dapat direalisasikan atau dimiliki untuk dipakai atau dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pelaporan.

Istilah "lancar" dalam ketentuan ini merupakan pengelompokan kualitas piutang, bukan pengelompokan aset seperti definisi dalam SAP. Penggunaan istilah "lancar" ini sempat menjadi bahan diskusi dalam rapat dengan para wakil unit yang hadir pada tanggal 17-19 Maret 2010 sehingga ada usulan untuk mengganti istilah "lancar" tersebut dengan istilah "aktif" untuk menghindari kerancuan, namun rapat menyepakati penggunaan istilah "lancar" didahului dengan kata "kualitas" sehingga berbunyi "kualitas lancar" dan seterusnya untuk menyatakan bahwa "lancar" dalam ketentuan ini merupakan pengelompokan kualitas piutang, bukan pengelompokan aset.

Adapun pengelompokan kualitas piutang tsb merupakan istilah kualitatif sebagai konversi kuantitatif yang dihitung berdasarkan umur piutang (aging), dengan tujuan:
  1. Dapat memudahkan penyebutan komposisi umur piutang karena dianggap lebih mudah menyebutkan piutang kualitas lancar, kurang lancar dan seterusnya daripada menyebutkan piutang berumur 1-30 hari, lebih dari 31-60 hari, dst.
  2. Pengelompokan kualitas piutang tersebut telah lebih dahulu digunakan (berdasarkan hasil penelaahan, istilah tersebut telah digunakan dalam peraturan yang terbit pada tahun 1993) sehingga diharapkan lebih mudah dikenali mengingat ketentuan penyisihan merupakan ketentuan baru di bidang piutang Kementerian Negara/Lembaga (K/L).
  3. Memudahkan penghitungan penyisihan piutang tidak tertagih sesuai pengelompokan kualitas piutang  sebagaimana diatur dalam Pasal 6.
  4. Menjadi solusi bagi pengelompokan kualitas piutang pajak yang rentang umur piutangnya berbeda dengan piutang PNBP. 
Berdasarkan penjelasan wakil dari unit pengelola pajak, piutang pajak memiliki rentang umur piutang yang berbeda, misalnya upaya penagihan pertama ke upaya penagihan kedua tidak sama rentang umurnya dengan upaya penagihan kedua ke upaya penagihan ketiga, dst jika dibanding dengan piutang PNBP dalam PP Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Terutang (PP 29/2009) yang menggunakan rentang waktu rata-rata 1 (satu) bulan. 

Dalam piutang pajak, ada yang rentang waktunya hanya 7 hari, ada yang lebih dari 1 bulan, baik piutang pajak di bidang perpajakan yang dikelola oleh DJP maupun piutang pajak di bidang kepabeanan dan cukai yang dikelola oleh DJBC. Karena kompleksitas rentang waktu tsb, kualitas piutang perpajakan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktorat Jenderal (Perdirjen) masing-masing (vide Pasal 5 ayat (2)). Adapun istilah kualitas piutang yang akan digunakan dalam kedua Perdirjen tersebut akan mengacu pada ketentuan PMK sebagaimana yang telah disepakati oleh para peserta rapat.

Agar sesuai dengan ketentuan sehingga mengurangi/menghilangkan subjektivitas, Pasal 13 PP 29/2009 digunakan untuk membagi umur piutang dalam Pasal 5 ayat (1). Di dalam Pasal 13 PP 29/2009, pembagian waktu tersebut dilakukan dengan penyebutan Surat Tagihan Pertama, Kedua, dan Ketiga. Cara seperti ini, menurut penafsiran kami atas kalimat yang terdapat pada baris ke-25 Bab VII A Buletin Teknis No. 6 tentang Akuntansi Piutang yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan PP 24/2005, dapat diperkenankan.

Selain itu, dalam Pasal 13 ayat (5) PP 29/2009 diatur bahwa "Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi kewajibannya, Instansi Pemerintah menerbitkan Surat Penyerahan Tagihan kepada instansi yang berwenang mengurus Piutang Negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya."

Berdasarkan informasi dari unit pemrakarsa PP 29/2009, yang dimaksud dengan instansi yang berwenang mengurus Piutang Negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya dalam Pasal 13 PP 29/2009 adalah Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Ditjen Kekayaan Negara (DJKN). Piutang yang dapat diserahkan pengurusannya kepada PUPN/DJKN hanyalah piutang yang telah diurus optimal oleh Penyerah Piutang (piutang dengan kualitas macet).

Namun demikian, ketentuan Pasal 3 ayat (1) PMK yang semula berbunyi, "Kualitas Piutang ditetapkan dalam 4 (empat) golongan, yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet." memang sangat mungkin menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang telah memahami akuntansi terlebih dahulu. Oleh karena itu, redaksi ketentuan Pasal 3 ayat (1) tersebut disesuaikan dengan Pasal 5 ayat (1) yang telah menggunakan kata "kualitas..." sehingga menjadi sebagai berikut.

"Kualitas Piutang ditetapkan dalam 4 (empat) golongan, yaitu kualitas lancar, kualitas kurang lancar, kualitas diragukan, dan kualitas macet."




Demikian pemaparan hal yang melatarbelakangi perbaikan ketentuan Pasal 3 ayat (1) PMK.


Salam,


Tim Klinik

Ralat vs Distribusi II

Perjalanan penyusunan suatu peraturan hingga ditetapkan dan diundangkan tidak semudah mengetiknya. Untung saja, andai semudah mengetiknya, mungkin akan banyak sekali ragam aturan yang bisa saja menyebabkan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi kekurangan fleksibilitas.

Setelah memperoleh informasi berdasarkan konferensi pers dari Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Keuangan per tanggal 9 Desember 2010 bahwa PMK Nomor 201/PMK.06/2010 ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 23 November 2010, maka panitia sosialisasi segera dibentuk mengingat penyusunan laporan keuangan per tanggal 31 Desember 2010 tinggal beberapa hari lagi. Waktu itu, acara direncanakan akan diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 2010. Tidak tahu, apakah pemilihan tanggal tersebut supaya bertepatan dengan hari ibu atau memang faktor kebetulan, yang pasti acara sosialisasi tersebut tidak jadi diselenggarakan karena ada salah satu dasar hukum dalam PMK yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan yang baru.

Andaikan saja, peraturan baru tersebut ditetapkan dan diundangkan sesudah tanggal penetapan dan pengundangan PMK Nomor 201/PMK.06/2010, tentu penyelenggaraan acara sosialisasi tersebut (diduga) akan berjalan sesuai rencana. Tapi, kalau tidak begitu, mungkin tidak ada cerita seru yang membuat kesibukan bertelepon dan cara komunikasi lainnya menjadi meningkat. Lagipula, untuk apa mengandai-andai sesuatu yang sudah lewat? Katanya, "percum tak bergun", ambil saja hikmahnya.


Kira-kira, hikmahnya apa?


Satu, meningkatkan rasa tawakkal kepada Tuhan bahwa apa yang diupayakan dengan sungguh-sungguh seikhlas hati, ada saja cobaannya. Ini dari segi religius. (Secara, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa" di Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).

Dua, jadi menyempatkan diri menelaah peraturan baru tersebut sehingga tahu perkembangan terkini akuntansi akrual di mana salah satu tanda akuntansi akrual adalah PIUTANG. Cepat atau lambat peraturan tersebut harus ditelaah karena memiliki keterkaitan dengan PMK. Kejadian tersebut hanya mempercepat waktunya. Terus terang, jadi terpesona dengan banyaknya lembar peraturan baru tersebut: 413 halaman! Bagaimana cara membuatnya dan berapa lama pembuatannya?
Yang pasti, kami tidak bisa menjawabnya dan rasanya tidak ingin tahu jawabannya, khawatir mengganggu rasa percaya diri karena tidak mampu menandingi.

Tiga, jadi tahu istilah baru dalam peraturan: Distribusi II (baca: Distribusi Kedua), yaitu koreksi atas bagian peraturan yang bukan batang tubuh. Kalau koreksi atas batang tubuh peraturan disebut ralat. Berdasarkan informasi yang diterima, istilah Distribusi II merupakan istilah baru di bidang penyusunan peraturan, namun sudah pernah digunakan pada Peraturan Presiden. Wow, PMK yang dibuat dengan cara "menggunting sana menggunting sini" dari kata/kalimat peraturan yang sudah ada saja (artinya tidak orisinil buatan sendiri) bahkan "mencontek" angka dari peraturan Bank Indonesia berhubung data piutang yang ada tidak mencukupi persyaratan penghitungan besaran penyisihan piutang tidak tertagih piutang negara, mau diperlakukan sama dengan Peraturan Presiden? Whatta surprise! Apa tidak berlebihan?

Empat, jadi tahu kalau ternyata PMK ini memperoleh cukup perhatian baik dari jajaran pimpinan di DJKN maupun unit-unit di luar DJKN. Meskipun bolak-balik PMK ini ingin dihentikan dan rasanya ingin memasukkannya ke mesin penghancur kertas, disemangati supaya tetap berlanjut. Pun, setelah disosialisasikan pada tanggal 9 Maret 2011, acara sosialisasi PMK tersebut diminta dilaporkan kepada Menteri Keuangan R.I.
Secara, PMK begitu banyak yang terbit, kenapa PMK yang ini? Jadi khawatir memperoleh perhatian melebihi sewajarnya, khawatir jadi seleb 88 (ini plesetan salep 88 produksi jaman dulu). 

Hikmah cukup segitu saja. Kalau kurang, silakan tambah sendiri, baik berupa imajinasi maupun terkomunikasi, karena kita akan beranjak ke perbedaan antara ralat dengan distribusi II.


Perbedaan antara "Ralat" dan "Distribusi II"


PMK yang sudah ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan kemudian terdapat kekeliruan yang membutuhkan ralat, PMK yang meralat ditandatangani/ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Keuangan.  PMK yang diralat dan PMK yang meralat menggunakan nomor yang sama, yaitu nomor PMK yang diralat. Adapun tanggal PMK yang meralat menggunakan tanggal saat ditetapkannya yang sudah pasti menggunakan tanggal setelah PMK yang diralat.
Mudah-mudahan tidak pusing dengan banyaknya pengulangan kata "ralat".

Kekeliruan yang dialami oleh PMK Nomor 201/PMK.06/2010 adalah penggantian satu peraturan di dasar hukum Mengingat. Akibatnya, ada perubahan urutan dasar hukum. Tidak ada perubahan lainnya sehingga cukup di halaman yang memuat dasar hukum saja yang diganti, ditambahkan tulisan DISTRIBUSI II di pojok kiri bawah, perubahan tersebut ditunjukkan (demikian istilah yang digunakan) kepada Kementerian Hukum dan HAM yang melakukan pengundangan peraturan, menarik hardcopy PMK yang sudah beredar dan menggantinya dengan yang baru.


Demikianlah.


Berdasarkan pencarian di internet pada saat itu (Januari 2011), ada satu peraturan yang menggunakan istilah distribusi II, yaitu  Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tanggal 20 Maret 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (tulisan Distribusi II ada di pojok kiri bawah setiap halaman Perpres) sehingga tulisan distribusi II pada PMK Nomor 201/PMK.06/2010 juga diletakkan seperti itu.

Entah kenapa, berdasarkan pencarian di internet saat hendak menurunkan tulisan ini banyak  peraturan yang bertuliskan distribusi II, dari Undang-Undang sampai dengan PMK, dengan beragam cara penulisan distribusi II, yaitu:

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tanggal 11 Agustus 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (tulisan Distribusi II ada di halaman pertama pojok kanan atas).

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2010 tanggal 8 Januari 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta II (tulisan Distribusi II ada di pojok kiri bawah setiap halaman PP).

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tanggal 6 Agustus 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (tulisan Distribusi II ada di pojok kiri bawah setiap halaman Perpres).

Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2006 tanggal 8 September 2006 tentang Honorarium Bagi Ketua, Wakil Ketua, Anggota dan Sekretaris Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tulisan Distribusi II ada di pojok kiri bawah setiap halaman Perpres).


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tanggal 12 Januari 2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah  (tulisan Distribusi II ada di pojok kanan atas setiap halaman PMK).


Tulisan ini menjawab mengapa ada tulisan DISTRIBUSI II pada pojok kiri bawah setiap halaman PMK Nomor 201/PMK.06/2010, sebagai koreksi kekeliruan yang tidak terprediksi oleh kami.
Tidak tahu ada berapa banyak peraturan lagi dan tidak tahu ada berapa variasi penulisan lagi, mudah-mudahan masih bisa diharapkan: semoga tren kekeliruan ini bukanlah merupakan hasil perencanaan yang kurang baik.


Salam,


Tim Klinik

Jumat, 08 April 2011

Hak Tanggungan, Hipotik, dan Fidusia

Penyisihan Piutang Tidak Tertagih merupakan domain akuntansi. Kepentingannya 'hanyalah' berupaya menyajikan piutang dengan nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value - NRV) yang bermaksud mengantisipasi risiko ketidaktertagihan piutang berdasarkan pengalaman penagihan.
Namun demikian, dalam PMK Nomor 201/PMK.06/2010 ini dapat dilihat istilah yang tidak umum dalam bidang akuntansi seperti hak tanggungan, hipotik, dan fidusia yang merupakan istilah di bidang hukum.

Bagi yang belum pernah mendengar istilah tersebut, tentu bertanya-tanya, seperti: apakah hak tanggungan itu adalah hak yang dimiliki oleh anggota keluarga untuk ditanggung biaya hidupnya oleh kepala keluarga? Joke seperti ini pernah muncul dalam pembahasan saat PMK ini masih berupa RPMK.

Seperti dalam tulisan Penyisihan Piutang, mengenai istilah "piutang ragu-ragu" yang jika tanpa penjelasan dapat diartikan, "ragu-ragu, ini piutang atau bukan?", sepanjang penyusunan RPMK dibutuhkan pembelajaran berulang atas apa yang semula sudah diketahui sehingga menjadi lebih mengerti, tambah pengetahuan baru, sampai pemilihan kata agar kelak pembaca ketentuan tidak keliru memahami.
Setelah PMK diundangkan, kadang-kadang ditemukan juga ada yang keliru memahami ketentuan yang biasanya disebabkan ingin cepat bisa atau membaca bagian pasal tetapi tidak/kurang memperhatikan pasal sebelumnya.



Pengetahuan mengenai hak tanggungan, hipotik, dan fidusia diperoleh langsung dari pimpinan yang ber-background hukum disertai contoh sederhana dan disampaikan setahap-demi-setahap. Sungguh  bersyukur, tidak perlu mengalami hal seperti gambar di bawah ini ketika menyeberang lintas disiplin ilmu.


Melalui blog ini,  disampaikan terima kasih.


Pada kesempatan ini, tidak dipaparkan secara mendalam, cukup pengetahuan awal dan perbedaannya satu sama lain. Ketiga istilah tersebut terdapat dalam Pasal 7 PMK terkait dengan agunan.


OK...let's start.


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi benda menjadi bergerak dan tidak bergerak.
Benda bergerak dikenakan gadai, benda tidak bergerak diikat dengan hipotik.
Perbedaan keduanya adalah karena benda bergerak dapat dipindahkan dari debitor kepada kreditor sedangkan benda tidak bergerak tidak dapat dipindahkan/tetap dalam penguasaan debitor sehingga demi melindungi hak kreditor apabila debitor wanprestasi, maka diikat dengan hipotik.

Tahun 1996, Undang-Undang Hak Tanggungan muncul dengan konsep mengeluarkan tanah dan bangunan dari pengikatan benda tidak bergerak sehingga benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan diikat dengan hak tanggungan sedangkan benda tidak bergerak selain tanah dan bangunan diikat dengan hipotik.
Dalam praktik, muncul suatu keadaan di mana benda bergerak yang seharusnya dikenakan gadai, jadi sulit karena benda bergerak tersebut dipakai kreditor, maka timbullah fidusia, tunduk pada Undang-Undang Fidusia (1999).

Sekarang, diketahui ada 4: hak tanggungan, hipotik, fidusia, dan gadai. Hak tanggungan, hipotik, dan fidusia harus didaftarkan sedangkan gadai, tidak. Maka, ketika istilah hak tanggungan terdapat dalam ketentuan PMK saat masih menjadi rancangan, terdapat pertanyaan, mengapa hipotik dan fidusia tidak disebut. Akhirnya hipotik dan fidusia masuk dalam ketentuan PMK. Tentang gadai, tentu tidak termasuk karena tidak ada pengikatannya.


Jadi, semula ketentuan Pasal 7 ayat (1) PMK yang terkait kebendaan mengatur:

"80% (delapan puluh perseratus) dari nilai hak tanggungan atas tanah bersertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB) berikut bangunan di atasnya" ditambahkan ketentuan mengenai hipotik dan fidusia sebagai berikut.

50% (lima puluh perseratus) dari nilai hipotik atas pesawat udara dan kapal laut dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik;
50% (lima puluh perseratus) dari nilai jaminan fidusia atas kendaraan bermotor;...

Dengan demikian,
> Objek hak tanggungan adalah tanah dan bangunan
> Objek hipotik adalah benda tidak bergerak selain tanah dan bangunan, di mana pesawat udara dan kapal laut dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik termasuk dalam benda tidak bergerak
> Objek fidusia adalah benda bergerak, di antaranya kendaraan bermotor. Dalam tulisan Sekarang, Ilustrasi dengan Agunan diberi contoh Honda Astrea Grand tahun 1998 yang menjadi agunan Piutang Kualitas Kurang Lancar.


Kalau gadai, sudah tahu? Slogan "Pegadaian: Mengatasi Masalah Tanpa Masalah" semoga tidak mendorong HP ke kantor pegadaian terdekat. :)


Salam,


Tim Klinik









Sekarang, Ilustrasi dengan Agunan

Dalam tulisan sebelumnya, dijabarkan mengenai skema langkah-langkah penghitungan beserta ilustrasinya. Sekarang, ilustrasi penghitungan penyisihan piutang dengan agunan atau piutang dengan jaminan.
Juga seperti sebelumnya, ilustrasi ini pertama kali digunakan dalam workshop yang diselenggarakan oleh satuan kerja di Kementerian Keuangan R.I. pada tanggal 28 Maret 2011. 
Betul-betul pertama kali?

Tidaaak. Pada acara launching PMK Nomor 201/PMK.06/2010 pada tanggal 9 Maret 2011 (lihat, jadi foto profil), template ini sudah ada, hanya ada bagian yang disempurnakan untuk menjawab pertanyaan, bagaimana jika saldo piutang per debitor yang mempunyai agunan atau jaminan ternyata nilai agunan atau jaminan yang diperhitungkan sebagai pengurang melebihi saldo piutang?
Berarti nanti hasil perkalian dengan persentase penyisihannya jadi minus dunk
Nee, nee...Meneer, Mevrouw.... 
Ada Pasal 6 ayat (4) yang berbunyi, "Agunan atau barang sitaan yang mempunyai nilai di atas Piutangnya diperhitungkan sama dengan sisa Piutang.
Jika kalimat-kalimat di atas agak membingungkan, langsung saja see the example! Asalkan sudah memahami Ilustrasi Penghitungan Persentase Penyisihan, maka ilustrasi ini pun (diharapkan) mudah dipahami. 
Sebagai lanjutan ilustrasi sebelumnya, pada tanggal laporan atau tanggal 31 Desember 2010, terdapat piutang sebesar Rp12.500.000,00 dengan rincian yang sama, hanya saja ada piutang dengan agunan, ada piutang tanpa agunan.
Kita umpamakan secara sederhana, ada 4 (empat) debitor dengan penggolongan sebagai berikut.
> Kualitas Lancar Rp10.000.000,00 dengan agunan berupa tanah dengan hak tanggungan bernilai Rp8.000.000,00;
> Kualitas Kurang Lancar Rp1.500.000,00 dengan agunan berupa kendaraan bermotor Honda Astrea Grand Tahun 1998 dengan nilai Rp2.500.000,00;
> Kualitas Diragukan Rp750.000,00 tanpa agunan; dan

> Kualitas Macet Rp250.000,00 dengan agunan berupa tanpa hak tanggungan bernilai Rp6.000.000,00.  
Untuk mudahnya, masukkan ke dalam tabel seperti ini. Silakan berimprovisasi untuk memuaskan kreativitas tapi jangan tersesat.

Lihat Pasal 7 PMK untuk mengetahui nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang. Pahami juga Pasal 6 ayat (2) PMK bahwa untuk Piutang Kualitas Lancar, ada agunan atau pun tidak ada agunan, sama saja. Serta, perhatikan Pasal 6 ayat (4) PMK yang diterapkan pada penghitungan Piutang Kualitas Macet.
Masukkan hasil penghitungan ke baris Dasar Pengenaan.

Kalikan dengan % Penyisihan untuk memperoleh nilai Rp Penyisihan Piutang Tidak Tertagih.

Diperoleh angka untuk diletakkan dalam akun Penyisihan Piutang Tidak Tertagih.

Sajikan di Neraca.

Ungkapkan dalam CaLK. Contoh ini merupakan CaLK yang sangat sederhana. Silakan melihat contoh laporan keuangan perusahaan yang mungkin cocok dengan selera, asalkan BENAR.


Meskipun tulisan ini berjudul "... dengan Agunan", tetapi ilustrasi di atas diterapkan juga pada barang sitaan. Sekedar mengingatkan, kata agunan dimaknai sama dengan jaminan.

Perbedaan agunan dan barang sitaan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih hanya pada jenis. Jenis agunan lebih banyak daripada jenis barang sitaan, sedangkan persentase nilai yang diperhitungkan untuk jenis barang yang sama, sama saja.

Nggak percaya? Bandingkan saja sendiri Pasal 7 dengan Pasal 8 PMK! :-(
(supaya mudah, tulisan Menghitung Penyisihan Piutang bisa dilihat kembali)


Salam,

Tim Klinik

Jumat, 01 April 2011

Ilustrasi Penghitungan Persentase Penyisihan

Agar penghitungan Penyisihan Piutang lebih mudah dipahami, di bawah ini merupakan skema langkah-langkah penghitungan beserta ilustrasinya yang digunakan dalam workshop yang diselenggarakan oleh satuan kerja di Kementerian Keuangan R.I. baru-baru ini, di antaranya membahas mengenai Penyisihan Piutang.
Langkah awal yang dilakukan sebelum menghitung Penyisihan Piutang adalah mengumpulkan seluruh data piutang dan menilai Kualitas Piutang masing-masing debitor. 

Penilaian atas Kualitas Piutang mempertimbangkan sekurang-kurangnya 2 (dua) hal, yaitu jatuh tempo piutang dan upaya penagihan. Dalam peraturan Dirjen Pajak dan peraturan Dirjen Bea dan Cukai, Kualitas Piutang dibagi berdasarkan tahun untuk mempermudah penggolongan.

Setiap piutang per debitor diperiksa apakah terjadi penurunan Kualitas Piutang atau masih dalam Kualitas Piutang semula. Setelah itu, dikelompokkan dengan "sesamanya". Misalkan sebagaimana ilustrasi di bawah ini, pada tanggal laporan atau tanggal 31 Desember 2010, terdapat piutang sebesar Rp12.500.000,00 dengan rincian berikut.