Jumat, 27 Mei 2011

Penilaian dalam Penyisihan Piutang

Izinkan kami sedikit kilas balik.


Riset awal tentang Penyisihan Piutang Tidak Tertagih, dimulai sekitar bulan Oktober 2009 sebagai tindak lanjut temuan auditor yang menyampaikan rekomendasi untuk menyusun aturan kebijakan pencadangan piutang. Waktu itu, Direktorat Penilaian (dahulu: Direktorat Penilaian Kekayaan Negara/Dit. PKN) juga sempat melakukan riset tentang Penyisihan Piutang Tidak Tertagih karena beberapa rekomendasi auditor menyebabkan unit ini diminta membantu unit-in-charge sesuai bidang tugas dan fungsi masing-masing. Pada tanggal 10 Desember 2009, unit ini menyelenggarakan rapat dengan para unit-in-charge, termasuk piutang negara, dan dari rapat tersebut, rancangan PMK mengenai kebijakan pencadangan piutang tidak tertagih, mulai disusun.

Pada saat itu, Dit. PKN mengusulkan agar dalam penerapan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih (saat itu digunakan istilah aging schedule), ketidaktertagihan piutang negara tidak hanya berdasarkan umur dari piutang negara, tetapi dari beberapa hal, yaitu:

Kondisi barang jaminan mencakup kepada keberadaan barang jaminan dan dokumen kepemilikan barang jaminan.
Mmmhh....Sejalan dengan riset kami.


Dalam pembahasan penyusunan PMK, mengemuka pertanyaan, berapa banyak lagi uang yang akan terkuras dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hanya untuk membiayai penilaian agunan atau barang sitaan yang terkait dengan piutang? Belum lagi wanti-wanti, "pertimbangkan administrative cost", jangan sampai penyelenggaraan penyisihan piutang tidak tertagih menambah beban administrasi.


Don't worry....

Kalau surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, tabungan, dan deposito sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) huruf a, nilai yang digunakan adalah angka yang tertera dalam instrumen keuangan tersebut.

Kalau agunan atau barang sitaan diikat dengan hak tanggungan, hipotik, atau fidusia sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b, e, dan f, nilai yang digunakan adalah nilai yang tercantum dalam dokumen pengikatan hak tanggungan, hipotik, atau fidusia. (Baca juga tulisan Hak Tanggungan, Hipotik, dan Fidusia)

Kalau tanah atau bangunan tersebut tidak ada pengikatannya?
Gunakan Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf c dan d serta Pasal 8 ayat (1) huruf b dan c.

Berarti yang memerlukan penilaian adalah agunan atau barang sitaan berupa:
  • kendaraan;
  • pesawat udara; atau
  • kapal laut;
sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf g serta Pasal 8 ayat (1) huruf d. Untuk itu, ditambahkan ketentuan mengenai kewenangan penilaian kembali di dalam Pasal 10.


Dengan demikian, PMK Nomor 201/PMK.06/2010 meliputi:


















Di akhir waktu pembahasan rancangan PMK, ada pendapat yang menyatakan agar nilai kendaraan, pesawat udara, dan kapal laut menggunakan data instansi yang berwenang, misalnya nilai kendaraan yang dikeluarkan oleh Kepolisian, untuk meringankan upaya penilaian. Maka, disusunlah ketentuan, "Nilai agunan atau barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g dan Pasal 8 ayat (1) huruf d bersumber dari nilai yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang." dalam Pasal 9 PMK.

Jadi ringan, 'kan?


Tinggal satu masalah lagi.
Nilai mana yang digunakan untuk agunan atau barang sitaan berupa emas dan logam mulia?
Salam,


Tim Klinik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar